Senyum Membalut Luka

Rabu, 04 Mei 2011

MAHAKAM KU

(Ku tulis siang itu sesaat melintas Tepian Kota Samarinda, Senin 02 Mei 2011)

Mahakam Bersemi
Angin kencang di siang ini
Mahakam meliuk-liuk
menyenggol tepian yang meneluk
Girangnya ia menari-nari
Pikirku musim telah berbahagia
Walau Surya sedikit angkuh
dan angin jahil, sejahil-jahilnya
Daun-daun berguguran
Menyentuh Mahakamku, sembari menyemi
Indah Tepianku tersenyum
Kami menatap langit tak lagi kelam
Namun, hawa ini...
Sungguh menusuk ranting-ranting
belulangku..

Minggu, 13 Maret 2011

Anak Titipan Tuhan yang Merintih Lugu

Sajak ini ku rangkai setelah ku mendengar seorang gadis kecil berkata "Aku mau hidup di kuburan saja, biar tenang, tidak ada yang memarahi.."

Seketika hati ini teriris
begitu pedih mendengar desahan lugunya,
tiada yang memahami
bahkan, ia pun tak mengerti
apa yang menyiratkan sebuah makna hidupnya.

Kenapa harus terabaikan??
Bahwa sebenarnya ia pun tak menginginkan kehidupan.

Bukankah buah hati titipan Tuhan?
Kenapa membuat ia tersakiti dan menentang takdir untuk diciptakan?..

Apapun yang menjadi titipanNya
sudah selayaknya terjaga dengan ketulusan dan kasih sayang.

Gadis kecil memasuki dunia yang membimbang,
mencari kedamaian dan sentuhan kelembutan dari orang sekitarnya,
namun tak satu pun mau menerima dan memperdulikannya.
Nasib terombang ambing oleh waktu,
ditatapnya mata dunia yang begitu angkuh.

Bukankah pelukan seorang ibu kehangatan baginya?
Bukankah senyuman seorang ayah ketenangan raganya?

Namun, itu hanya angan-angan ketika dia memasuki rumah gelap yang penuh dengan teriakan-teriakan sumpah serapah untuknya.

Bisakah kita melihat luka membelah di sisi hatinya?

Berbagai cara ia lakukan demi sepercik perhatian,
semua ia lakukan demi setitik kasih sayang.

Begitulah ke-lugu-annya yang mengira semua yg dilakukan akan berhasil.
namun, tetap saja ia sendiri dan terkucil...

Kesana kemari mengemis kasih sayang.
Mencari suatu kedamaian yang semestnya ia temukan setelah menemukan kehidupan.

Ya Tuhan, kedzaliman melanda di setiap hela nafasnya..
Apa jadinya jika ia menyatakan ungkapannya???

Adakah kami sepenuhnya menginginkan kehidupan???

Wahai kita anak manusia...
Jika kita telah menyanggupi perjanjian kita kepada illahi...
Jalani dengan ikhlas.

Jagalah hati sesamamu, orang tua dan saudara-saudaramu, beserta anak cucu mu...

Hindarilah perbuatan dzalim yang sungguh Dia murka-kan.

Minggu, 06 Maret 2011

Jarak Memilukan Waktu

Pujangga melebur kalut nan puitis
menangisi sajak yang terangkai pada malam ini
aku yang tertahan meratapi batas yang mengiris
dia semakin menjauh bahkan tak tampak lagi di sini

Aku lepaskan elang melayang terbang
menduduki menara tertinggi di riwayat hati
ku tatap hingga ketajaman mata itu memandang
dan perlahan menjarak pilu dan pergi

Aku meringis tertatih
sembari aku menyair dan merintih
teriak hati berkata perih
menggenggam luka nanah yang pedih

Jarak semakin meluas cinta
bisakah aku menguras samudera
hingga ku mampu berlari meninggalkan derita
kembali memelukmu membuang lara

Ku tak tahu di mana hati mu itu bernaung
sementara aku melawan hati dan sengit bertarung
ingin saja aku buang luka nanah ini hingga membusuk
namun, cinta mu telah merasuk hingga menulang rusuk

Kenapa tak kau lihat dulu ini
sebelum kau mengarungi sejuta keglamoran dunia yang menyepi
setidaknya pertimbangkanlah rasa ini
yang naif berharap walau jelas sungguh tak ada lagi arti

kenapa aku bebal ingin menggapai
jelas itu tak mungkin lagi tercapai
kau begitu saja berjalan melepas kisah
dan kau katakan "jadikan saja ini kenangan terindah"

Semudah itu kah melantunkan hati yang terpaut
tidak seperti kau yang hanya menyentuh tak merekat dalam kabut
aku ini ketulusan yang ingin menuntut
namun, memupus rasa menghidupkan kalut

Cinta
aku sadar tak mungkin meraih mu
merebut dan merenggut hidup yang bukan ingin mu
apa lah seorang pengemis cinta di mata hati mu
hanya membuyarkan mimpi yang beranjak kau bangun dalam hidup mu

Perlahan ku sadari
aku lah malam gelap yang ingin berjumpa matahari
mungkin, sebaiknya aku tetap menangis bersama peri
tanpa perlu kau tau bahwa aku membalut luka ini sendiri

Jika ku dapat menitipkan pesan ini kepada malaikat
ku ingin dia menjaga hidupmu dengan erat

dan jika aku dapat menjumpai Tuhan dan meminta
ku ingin kau tetap dalam kebahagiaan tanpa batas anugerah Sang Pencipta.

Kini ku relakan hatimu mengarungi seluruh benua
walaupun aku tak tahu kapan kita kembali bersua
setidaknya...
hanya ingin menatap wajah yang berhasil mendiami hatiku
hingga ku biarkan saja mengenang dalam dan membeku

Semoga waktu selalu bergulir indah
aku akan berusaha menghapus gelisah
hingga ku dapat memaknai hakikat sebuah kisah
manis, pahit atau apapun itu adalah anugerah.


Biarkan rasa ini mengalir sampai ia mampu bermuara
walaupun, aku tak entah di mana akhirnya?





Hidayatul sya'diah

Jumat, 04 Maret 2011

Sajak Tanpa Rasa

Batu merangkai kata pada angin
mengkaku buta senja mendingin
surya tersenyum, bergulir, hingga berlalu
di kawal angin yang meredam deru.

Hambar di setiap lidah berkata
mengukir skema di dinding keraton tanpa pelita
sunyi, sepi, merangkul gelap
tak ada jangkrik yang hadir mengusik senyap.

Lidah lincah tanpa tulang
menyilat kata berwarna belang
Nalar kah yang mengacu pada setiap bait?
atau tanpa rasa namun seolah tawa menjerit.

Di pertengahan malam mengharu biru
menulis narasi bertema sendu
ah, lagi-lagi madu menghambar huni rasa
karena tak ada lagi peka dalam asa.

Setiap kata genggam arti bermakna
namun, hati tuli tanpa telinga
hanya bermain kata di kegelapan alam
tanpa rasa menyeru puisi di titian kelam.

Mereka mencengang pilu
pesakitan terlebur dan berlalu
di mana letak hati mu tuan?
ternyata sembunyi dalam kebekuan.

Sirine mengusik khayalan
membuyar kata yang telah tertelan
berlari mengarah lampu bermain sepi
berhenti di ujung sisi menepi.

Jantung berguncang tersirat tanya
apakah saat ini masih tanpa rasa?
sungai melinang menekuk wajah
rasanya itu mungkin telah musnah.

Tuan, aku tawarkan sesendok aren manis
kenapa tetap saja kau kosong menatap sinis?
ku telan saja sendiri untuk menikmati segar
seolah dahaga melepas layak mati memudar.

Sajak terucap berjuta bait
biarlah indah terlihat, walau terasa pahit
sendiri menyulam benang mengusut
bermimpi keajaiban mengubahnya menjadi selimut.



Berucap Kata Tanpa Makna 

"Yang mampu selimuti hati walau dingin tanpa rasa"


(Hidayatul sya'diah)

Minggu, 27 Februari 2011

Sajak Untuk Sosok Panglima Hatiku (ABAH)

Ketika ku sambut tangan keriput nan hangat
ku cium dengan penuh rasa sayang
kau belai ubun-ubun ku penuh cinta
membuat ku terjaga pada dinginnya dunia.

Panglima hidup
yang melindungi dua sosok hawa
berjalan di tengah terik bermandi peluh
mencari sesuap nasi untuk Ratu dan Puteri kecilnya.

Abah....
Bisakah aku mengganti peluh mu menjadi mutiara?


Dulu....
aku duduk bermanja di pangkuanmu
bernyanyi melantun bersama di atas perahu
menuntun tangan kecilku saat menyusuri lampu-lampu kota
dan memeluk tubuhku yang tengah menangis ketakutan.

Semua begitu hangat terasa
secerca kerinduan ini sangat lama terbendung
ketika sebaris kata yang berisi nasihat itu
mampu merangkul tubuh yang tak mampu melawan dingin dunia.

Satu bait....
petuah pernah kau lisan kan di suatu malam itu
membuatku tegar berdiri sendiri
meski panglima hidupku yang penuh kebijaksanaan
kini berada jauh dariku.

Kau hamparkan sejadah yang panjang
di ikuti dengan dua makhluk terindah di sudut belakangmu
kita menemui kedamaian bersama
dan memuji kebesaran penguasa yang telah menjadikan hidup kita sempurna.

Puteri kecilmu ini...
begitu merindukan lantunan kesucian kitab Allah yang pernah kau serukan
suaramu begitu merdu dan mendayu dayu
hingga mampu terjaga menuju malam-malam yang larut dan syahdu.

Sungguh air mataku tak mampu terbendung
menatap sosok mu yang semakin menua
berdiri tersenyum mamandangi ku yang telah dewasa
dan melepaskan genggaman tanganku kepada hidup.

Ingin rasanya mengembalikan waktu
dan ku tahan hingga akhir hidupku
berada dalam kerajaan kecil penuh cinta
dan terus berada dalam dekapan panglima hatiku.

Abah, tetap lah menjadi sosok panglima yang bijaksana.
jangan biarkan aku jatuh dalam kubangan dosa yang terkutuk.

Dan...
Penguasa Alam tetaplah beri kekuatan pada Panglima ku
agar tetap mampu menjaga Ratu dan Puteri kecilnya.








Hidayatul sya'diah

Sabtu, 26 Februari 2011

Ruang Maya

Sudah tak tersadar
aku lama menghuni sudut ini
bersandar pada dinding kehidupan lainnya
terindah namun semu nampak nyata.

Ku buka jendela hidup sesungguhnya
namun begitu suram tak menerima ku
entah....
aku mengasing seperti berbeda.

Kehangatan mimpi ternyata lebih indah
namun tetap saja ini hanya jalinan ilusi
mengalir bagaikan aliran daya
dan meluaskan jaringan pengikat naluri.

Tak lepas kisah cinta pun membaur
topik terhangat di saat pagi, siang, dan malam
penawaran yang mampu membuai kebahagiaan
yang membuat ku tersesat di khayalan.

Aku telah menjadi satu pada kelam
namun aku mampu menggapai kepuasan tersendiri
membaur di kehidupan berbeda
dengan melepas hasrat kejenuhan.

Saat ini di luar sana
mereka menikmati dingin malam
berjabat tangan dan bertatap
melihat bintang yang menggemintang
bahkan merasakan buaian angin malam.

Namun,
aku tetap saja bersandar pada sudut semu
menjalin cerita bersama kefiktifan
menatap kehidupan di ruang maya
dan melepas hasrat kesendirian.

Keindahan Fatamorgana
memanjakan segumpal rasa
hingga menenggelamkan ku ke dalam mimpi
yang sebenarnya harus terbatasi.

Negeri angan
melukis kedamaian sebagai istana
syair mengalun cinta sebagai penyejuk

dan kini ku menujunya mengambung tinggi terbawa oleh suasana.

Menatap dua kehidupan dari sudut mata
terpejam mencari kesungguhan
meraba setiap rasa yang ku alami
tak lepas ku mencoba menyentuh dilema mimpi.

Keabadian...
bangunkanlah aku
dari rangkaian mimpi indahku
hingga ku temui "Kesungguhan Cinta" saat ku terengah-engah berlari dalam nyata.








Hidayatul sya'diah

Jumat, 25 Februari 2011

Waktu Memburu Kehidupan

Nalar ku mengalut di tengah kabut malam
benakku terkikis hingga hati kunjung menipis
bicara pada seruan jangkrik
tak terdengar lagi aku
karena mereka menyeru bersama dalam keheningan
sembari ku catat setiap pengakuan relung
yang telah menari-nari 
mengobrak abrik gumpalan sarafku.

Hei....
dingin....
kenapa menyentuh ragaku yang melayu?
Tak kau lihat air mata membeku??
tak kau rasa tulangku mengkaku??

Penjaga malam....
Lonceng apa mendera di malam buta?
kenapa tak kau pukul saja hati yang membatu itu?
kau lebur saja wujud kerasnya menjadi pasir
lalu kau hambur di jalan yang berkerikil.

Lalu, mengapa awan mengabut di tengah malam?
tak begitu jelas nampak
namun sembunyikan berjuta bintang
hei.....
minggir sajalah...
biarkan aku menatap wujud kelap-kelipnya
apa urusannya menghalangi tengokanku??
malam tak lama pergi
sedangkan detik kian mengganti tanpa perduli.

Bunga-bunga...
kalian mulai merekah
kemudian esok pagi majikan memetik kehidupanmu
lalu terkubur dalam air yang terbendung
kenapa kalian tersenyum melihatku?
aku tahu kalian indah
pantaslah kalian mewangi
setulus wangian kesucian hati 
yang menebar aroma kesejukan alami
meski harus mati
embun pun ikut menangisi hari
karena hanya menyiramimu di saat ini sampai pagi nanti.

Dan aku...
roh ini akan mengambung 
entah berpijak dan bersandar di mana kelak??
atau berjalan menuju arah timur, barat, selatan, ataupun utara??
mampu kah kembali menyatu kembali bersama jasad??
atau hanya mampu menatap???
kemudian pergi dalam ketenangan abadi milik sang Pencipta.

Waktu selalu memburu kehidupan
berkuasa mengurai perpisahan
entah hakikat ataupun keadaan
namun waktu selalu menyemai keabadian di dalam hati
membaur meski tetap berlalu
tapi kenangan sulit terhapus
tetap mengabadi di dalam ingatan kehidupan.

Sebelum waktu mengurai cerita hidup yang berakhir sajak telah tertulis indah di tengah malam yang dingin dan mengabut.



Hidayatul Sya'diah